Recent Posts

Powered By Blogger

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 30 Agustus 2016

Untuk dirimu sendiri

Ada saatnya kamu harus melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri. Melakukan sesuatu benar-benar untuk diri sendiri tanpa terlalu banyak mempertimbangkan bagaimana nanti orang lain. Tulisan ini tidak mengajak untuk menjadi egois, tapi mengajak untuk mengembalikan sebuah peran kesadaran yang cukup penting di tengah masa krusial, terutama di fase Quater Life Crisis. Tulisan ini pun tidak berlaku bagi orang-orang yang selama ini sibuk dengan diri sendiri, tulisan ini saya buat untuk teman-teman saya yang begitu semangat melakukan kebaikan sosial, semangat untuk terlibat peran dimana-mana, bercita-cita ingin membangun kehidupan yang lebih baik untuk banyak orang.

Saya percaya, untuk bisa berdaya dan menyelamatkan lebih banyak orang, membangun kebermanfaatan diri yang lebih besar. Seseorang harus memiliki waktu untuk mengembangkan dirinya, menajamkan potensi dirinya, mendidik dirinya dengan pengetahuan baru yang lebih luas dan menyeluruh.

Sebuah keputusan yang tentu sulit diambil oleh orang-orang yang hatinya terpikat dengan begitu banyak berbuat baik. Keputusan yang terlihat sangat mementingkan diri sendiri, hanya saja bila dikaji lebih jauh, ini seperti mengasah sebuah pedang sebelum digunakan untuk berperang. Waktu yang diambil untuk mengasah itu tentu tidak sedikit, membutuhkan kesabaran, membutuhkan ketelitian.

Analogi lain, untuk bisa menyelamatkan lebih banyak orang yang tenggelam, seseorang harus bisa berenang dan menyelamatkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Kalau tidak, tentu dirinya akan tenggelam dan tidak akan lagi menjadi bermanfaat.

Ada kalanya, seseorang harus menguatkan keyakinan pada diri sendiri. Bahwa ada masa yang perlu ia ambil untuk mengembangkan dirinya, terlepas dari semua aktivitas yang saat ini dijalani dan begitu memikat hati. Waktu yang saya sebut sebagai sebuah jeda, jeda untuk memberikan jarak yang tepat bagi diri untuk melihat lebih jauh dan lebih luas tentang apa yang selama ini telah dilakukan.

Waktu yang saya sebut sebagai jeda, jeda yang bisa dipakai untuk mengakselerasi diri dengan kembali menempuh pendidikan, mengambil kursus keahlian, menjelajah dunia dan bertemu dengan orang banyak, dan hal-hal lain yang tentu saja akan membuat seseorang menimbang. Apakah waktu yang akan dikorbankan ini menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat?

Muhammad Solihin
Bekasi 30-agustus- 2016

Kamis, 04 Agustus 2016

Modern agar Tidak Anti-Apa pun


Senin, 12 Oktober 2015

Ketika berada di Singapura bulan lalu, terbaca oleh saya jawaban Perdana Menteri Lee Hsien Loong atas pertanyaan media setempat mengenai Indonesia yang lagi melemah ekonominya. Jawaban itu kurang lebih begini:

“Di sana lagi meningkat aspirasi nasionalisme. Kalau hal itu bisa diarahkan ke hal-hal yang positif akan menjadi kekuatan yang besar.”

Ucapan itu kelihatannya merupakan sebuah kritik yang amat halus. Atau sebuah saran tersamar yang kita sendirilah yang harus bisa menafsirkan apa maksudnya. Dalam hal politik, masyarakat Singapura tidak lagi terlalu mengkhawatirkan Indonesia. Pergolakan politik tahun 1998 dianggap tidak akan pernah terjadi lagi.

Yang lagi jadi buah bibir di sana justru Malaysia. Mereka sangat mengkhawatirkan perpolitikan Malaysia. Mereka khawatir Malaysia masih akan menghadapi tahap seperti apa yang dialami Indonesia di tahun 1998.

Orang Singapura bersyukur ada sultan Johor di Malaysia. Negara bagian yang paling dekat dengan Singapura itu memberikan jaminan keamanan bagi penduduk Malaysia dari ras apa pun. Sultan Johor kelihatannya memang lagi tidak mesra dengan Perdana Menteri Malaysia yang sedang disorot sekarang: Mohammad Najib Razak. Wakil perdana menteri yang dia pecat bulan lalu itu adalah putra Johor.

Singapura, demikian juga Hongkong dan negara-negara Barat, memang mencatat gejala naiknya nasionalisme di Indonesia. Bahkan, ada yang menyebutnya bukan sekadar nasionalisme, melainkan sudah mengarah ke nasionalisme sempit. Kecenderungan nasionalisme sempit itu adalah merasa tidak memerlukan negara lain, anti-negara lain, anti-impor, anti bantuan, antiutang, dan anti-apa saja yang datang dari luar negeri.

Mereka mencatat gejala itu bisa dilihat dengan jelas berkembang di Indonesia. Misalnya, setiap kali pemerintah mengumumkan rencana impor daging atau impor beras atau impor apa saja, sentimen di publik selalu negatif.

Demikian juga dengan utang luar negeri. Bahkan, di saat bencana asap sudah demikian hebatnya pun, masih ada saja pejabat tinggi yang mengatakan begini: kita tidak memerlukan bantuan negara lain. Mungkin dia tidak bermaksud begitu. Tapi, dia tahu, kalau bisa mengatakan hal seperti itu, dia akan mendapat sambutan hangat dari masyarakat.

Saya juga masih sering mendengar banyak orang di Indonesia mengatakan bahwa kita harus bangga pada India. Maksudnya, agar kita mengikutinya. Di sana, katanya, menganut paham swadesi. Yang kalau di kita diistilahkan dengan berdikari.

Rupanya orang-orang itu sangat ketinggalan informasi. Harap diketahui: India sudah lamaaaaaa meninggalkan prinsip swadesi. Sudah lebih dari 20 tahun. Yakni sejak India hampir saja bangkrut di tahun 1980-an.

Kalaupun mau menampilkan contoh negara yang masih berusaha berdikari sekarang ini, tinggal satu atau dua saja: Korea Utara dan Venezuela. Bagaimana dengan Kuba? Kuba baru saja meninggalkannya dua bulan lalu.

Benarkah pasang naik nasionalisme sedang terjadi di Indonesia? Nasionalisme sempitkah itu?

Kalau dilihat dari wacana di masyarakat, talk show di televisi, orasi di panggung-panggung demo dan pidato-pidato di lingkungan pejabat pemerintah kelihatannya memang begitu. Tapi, kalau dilihat dari praktik sehari-hari kelihatannya tidak begitu. Kita tetap impor daging, impor garam, dan impor apa pun. Bahkan, coba pikirkan, bisakah kita berhenti makan roti dan terutama mi? Padahal, kita ini harus impor tepung terigu 100 persen! Sampai kapan pun. Karena kita tidak bisa menanam gandum.

Dan kita juga sulit berhenti mengutang.

Maka, saya pun mencoba menafsirkan komentar perdana menteri Singapura itu. “Kalau nasionalisme itu bisa diarahkan yang baik, bisa menjadi kekuatan besar.” Artinya, kalau tidak diarahkan yang baik, bisa menjadi sumber bencana.

Artinya, nasionalisme itu baik. Agar jangan tenggelam pada kolonialisme. Yang penting, nasionalisme itu jangan sampai jatuh menjadi Nasionalisme sempit.

saya belum pernah menemukan istilah sebagai lawan kata “nasionalisme sempit”.

Tapi, saya pernah mendengar istilah “kolonialisme modern”. Maka, bagaimana kalau kita ciptakan istilah baru bahwa lawan kata “nasionalisme sempit” itu adalah “nasionalisme modern”?

Lalu seperti apa nasionalisme modern itu dalam praktiknya?

Tidak anti-impor, tapi harus mati-matian mengusahakan agar barang yang tidak harus diimpor janganlah mudah diimpor.

Tidak anti-impor, tapi nilai ekspor kita harus berkali lipat lebih besar dari nilai impor kita. Artinya, ekspor adalah jihad yang harus diutamakan.

Tidak antiutang, tapi sekali berutang harus digunakan untuk proyek yang benar-benar menghasilkan uang yang bisa dipakai untuk membayar utang itu. Utang itu akan bahaya kalau uangnya dipakai untuk hal-hal yang tidak produktif. Apalagi kalau 30 persennya menguap.

Pokoknya, jangan anti-apa pun, tapi juga jangan mudah menyerah. Contohnya bisa amat panjang. (*)

Rabu, 03 Agustus 2016

Serba sulit Freeport yang Serbaberat


Senin, 18 Januari 2016

Relakah Anda bila saat ini negara kita mengeluarkan uang sekitar Rp 20 triliun untuk membeli 10 persen saham Freeport Indonesia (FI)?

Mungkin pertanyaan itu pertama-tama harus dijawab oleh mereka yang selama ini mendesak pemerintah agar memaksa Freeport mengurangi sahamnya di FI.

Kini (minggu lalu, Red) justru Freeport yang secara resmi menawarkannya kepada pemerintah.

Freeport minta agar pemerintah mengambil saham itu dengan nilai USD 1,7 miliar atau sekitar Rp 20 triliun.

Hayo! Bagaimana pemerintah harus menjawab tawaran itu? Sungguh serbasalah.

Kalau saya sih jelas: tidak rela. Dengan membayar Rp 20 triliun, ditambah saham lama, pemerintah baru memiliki 20 persen FI. Masih sangat minoritas. Tidak punya kekuasaan apa-apa di perusahaan itu.

Di lain pihak, laporan-laporan media di Amerika mengerikan. Dilaporkan, kondisi keuangan Freeport tahun-tahun belakangan ini sangat-sangat mengecewakan.

Labanya terus memburuk. Pada 2014, tinggal USD 482 juta. Bahkan, tahun lalu sudah rugi besar: USD 1,8 miliar! Rugi lebih dari Rp 20 triliun.

Ini berarti kita dihadapkan pada pertanyaan sepele: mengapa membeli saham perusahaan rugi? Apalagi, kelihatannya Freeport masih akan terus merugi beberapa tahun ke depan.

Mengapa kondisi Freeport begitu buruk? Mengapa tidak seperti yang umumnya dibayangkan orang Indonesia? Mengapa tidak makmur seperti gambaran video emas yang dicurahkan dari perut bumi Papua?

Itu sama sekali tidak berhubungan dengan kian ditinggalkannya koteka oleh pria-pria jantan Papua. Itu lebih karena Freeport terbelit ambisinya sendiri.

Ambisi Freeport luar biasa. Pada 2013, Freeport ingin tidak hanya menjadi raja tembaga dan emas. Ia juga ingin menjadi raja minyak. Dengan cara yang afdruk kilat.

Sebuah perusahaan minyak terbesar keempat di California, Plains Company, dibeli. Dengan harga USD 16,3 miliar. Atau sekitar Rp 200 triliun. Itu termasuk untuk mengambil alih utang Plains sebesar USD 9,7 miliar.

Harga mahal itu diterjang karena Plains memiliki produksi minyak mentah hampir 300 juta barel per hari. Bahkan, potensi produksinya bisa lebih dari 2 miliar barel per hari.

Sial. Sial sekali.

Begitu transaksi ditandatangani, harga minyak mentah terjun bebas. Dari USD 80 menjadi USD 40-an.

Sial.

Begitu sialnya. Perut siapa yang tidak mulas?

Begitu pandainya pemilik Plains: menjual perusahaan ketika nilainya masih tinggi.

Begitu sialnya atau cerobohnya Freeport: membeli perusahaan minyak raksasa yang sedang berada di bibir jurang.

Rupanya Freeport salah perhitungan. Atau terlalu banyak berharap.

Memang harga komoditas tambang seperti tembaga dan nikel yang menjadi andalannya terus menurun. Sudah enam tahun tidak naik-naik. Semua perusahaan tambang, termasuk PT Antam, termehek-mehek.

Waktu itu harga minyak masih bagus. Rupanya Freeport mau mencari tanjakan lain. Meski tanjakan tersebut berkelok. Masuk bisnis minyak. Tidak tahunya, malah kian terperosok.

Maka, di New York, tempat saham Freeport diperdagangkan di bursa, beritanya negatif melulu. Tahun-tahun belakangan ini, judul-judul berita yang terkait dengan Freeport hanya serem dan serem sekali: Freeport Menuju Kematian, Masih Bisa Diselamatkankah Freeport?, atau Keuangan Freeport yang Mengerikan.

Serem dan suram. Disebutkan, seluruh aspek usaha Freeport memburuk. ”Multiple weakness in multiple area”: Omzetnya turun, labanya memburuk, rasio-rasio keuangannya tidak lagi masuk akal. Bahkan, cash flow-nya pun menghadapi kegawatan.

Sampai kapan kondisi seperti itu akan berlangsung?

Bergantung. Pertama, bergantung jawaban pemerintah soal tawaran Rp 20 triliun itu. Kalau pemerintah mengabulkannya, cash flow Freeport sedikit tertolong. Sedikit.

Kedua, bergantung apakah pemerintah akan memperpanjang kontrak Freeport. Kalau pemerintah mau memperpanjangnya, kondisi Freeport bisa sedikit membaik.

Setidaknya  outlook jangka panjangnya. Apalagi kalau perpanjangannya diizinkan sekarang. Wow. Harga saham Freeport bisa sedikit naik.

Kondisi Freeport bisa seperti pasien yang dapat infus: belum tentu sembuh, tapi setidaknya belum segera mati.

Ketiga, bergantung harga minyak mentah. Kalau harga minyak mentah segera membaik, harga sahamnya akan ikut naik. Ada napas baru.

Tapi, ada tapi-tapinya. Di AS, baru ditemukan sumber gas baru yang disebut shale gas. Harga gas menjadi sangat murah: hanya USD 3/mmbtu.

Kayaknya sulit membayangkan harga minyak mentah bisa segera naik drastis. Apalagi, perusahaan minyak yang dibeli itu adalah perusahaan minyak dari Texas juga.

Freeport (nama ini diambil dari nama kota kecil di Texas yang terletak di pantai Teluk Meksiko) benar-benar berada dalam posisi berat. Di Amerika. Dan di Indonesia.

Kota Freeport sendiri sekarang berpenduduk 11.000 jiwa dan masih jaya. Namun, perusahaan yang awalnya tambang sulfur tersebut, yang didirikan di kota itu pada 1912, kini lagi berjuang melawan kesulitan. Bahkan, chairman-nya yang legendaris itu, James Moffett, sampai menyerah. Meletakkan jabatan.

Cadangan emas yang sangat besar di Papua sendiri ditemukan oleh seorang pengelana Belanda pada 1950-an. Freeport mendengar temuan itu. Dan berusaha menguasainya. Tahun 1960, Freeport sepakat dengan si Belanda.

Pada 1965, Bung Karno yang anti-Amerika jatuh. Soeharto naik. Atau dinaikkan. Tahun 1967, resmilah Freeport mulai melakukan drilling. Tahun 1988 mulai menghasilkan emas dan tembaga.

Luar biasa hebatnya. Mudah mengerjakannya.

Tambang itu berada di permukaan tanah Papua. Tinggal mengeruknya. Bukan di perut bumi yang harus menggalinya.

Tahun 2021, kontrak dengan Freeport itu akan berakhir. Kalau kontrak tidak diperpanjang, Freeport akan 100 persen milik Indonesia. Tidak perlu keluar uang Rp 20 triliun hanya untuk memiliki 10 persen sahamnya.

Akan menjadi serbaenak? Jangan dulu dibayangkan serbaenaknya.

Pertama, mungkin Amerika marah. Entah apa bentuk kemarahannya. Dan entah apa kita mampu menanggungnya.

Kedua, mungkin saja sejak sekarang Freeport tidak mau keluar uang untuk pemeliharaan tambang. Toh, sudah akan lepas dari tangannya.

Kalau itu terjadi, kelak, tepat di saat tambang itu menjadi milik Indonesia, kondisinya sudah tidak bagus lagi. Diperlukan uang puluhan triliun rupiah untuk kembali menghidupkannya.

Apalagi, tambang yang ada di permukaan tanah sudah habis. Sudah harus menggali tambang di perut bumi. Lebih mahal.

Dengan harga jual nikel dan tembaga seperti sekarang, belum tentu bisa menghasilkan uang seperti yang kita bayangkan.

Bisa-bisa kita harus mengundang investor asing lagi untuk melanjutkannya.

Mungkin Freeport lagi. Atau Freeport yang lain. Kalau tidak disiapkan mulai sekarang. (*)